Kutipan novel yang menginspirasi kali ini datang dari salah satu novel saya yang paling populer; Merapi Barat Daya.
Novel ini diterbitkan secara indie dan sudah terjual hampir 1000 eksemplar (cukup bagus untuk buku indie dengan penulis tak dikenal). Rating novel ini selalu sempurna dan mendapat bintang lima dari setiap pembacanya.
Hampir setiap orang yang membaca novel Merapi Barat Daya, mengira ini adalah kisah nyata. Padahal Merapi Barat Daya adalah fiksi murni, hanya saja latar belakang dan setting cerita yang merupakan tempat nyata.
Jalan cerita novel ini dinilai penuh kejutan, tidak bisa ditebak, dan sangat membekas di benak pembaca. Bahkan karena endingnya yang didesain penuh tanda tanya mengharuskan saya sebagai penulisnya untuk melanjutkan pada jilid ke-2 yang menjadi sekuelnya.
Nah, meskipun bukan kutipan novel bestseller dari buku terbitan penerbit mayor. Berikut adalah salah satu kutipan yang menginspirasi dari bab 12 di novel Merapi Barat Daya yang banyak pula dikutip oleh pembacanya.
Kutipan Novel yang Menginspirasi Merapi Barat Daya bab 12: Sebuah Permintaan

Bagian terbesar dari kesepian adalah perasaan yang benar-benar merasa sendiri, tak peduli apakah ia ada di dalam ruangan bersama jutaan orang…
Anton Sujarwo
Sebuah Permintaan
Pak Iskandar duduk di kursi goyang lantai dua rumahnya, matanya memandang jauh, menembus cakrawala langit yang seolah menyala karena senja magrib yang sudah tiba. Lelaki paruh baya itu nampak terpekur, pikirannya menerawang jauh di awang-awang. Kejadian yang baru saja ia alami beberapa jam sebelumnya telah membuat sudut terdalam dari hati pak Iskandar tersentuh. Ia mungkin akan menghabiskan beberapa waktunya untuk memikirkan kejadian tersebut.
Sekitar dua atau tiga jam yang lalu ia baru saja bertemu dengan seorang pemuda yang sama sekali berbeda. Pemuda yang telah ia cari-cari sekian lama karena menyelamatkan nyawa puteri bungsunya, tadi dengan ditemani oleh Elya sendiri bertamu ke rumahnya, berkenalan dengannya, dan sekali lagi, menolak secara halus hadiah yang ia tawarkan.
Pemuda itu dengan tutur kata yang sopan menyampaikan bahwa ia tak bisa menerima hadiah pemberian pak Iskandar. Ia membantu Elya tiga setengah bulan yang lalu dengan niat yang ikhlas, tanpa berharap imbalan apa pun. Ia mendaki dinding kubah Gunung Merapi yang terjal dan berbahaya, di malam hujan gerimis dan angin kencang, sama sekali bukan karena mengejar pamrih dan hadiah. Itu adalah naluri seorang pendaki gunung yang tergerak hatinya untuk membantu pendaki lainnya yang sedang mengalami kesulitan.
Ini adalah pertamakalinya bagi pak Iskandar ketika ada seseorang yang menolak hadiah yang ia tawarkan. Secara psikologis pak Iskandar sama sekali tidak tersinggung. Namun sisi-sisi terdalam dari jiwa spiritualnya telah tersentuh dengan hebat. Bagaimana mungkin seorang pemuda biasa yang mengaku bekerja sebagai kurir pengantaran barang menolak hadiah sebanyak miliaran? Bagaimana mungkin seseorang yang dilihat dari sudut pandang materialistis dan kemahsyuran sangat rendah, namun memiliki ‘harga diri’ yang demikian tinggi? Apakah uang sepuluh milyar atau pun rumah mewah tidak ada apa-apanya bagi seorang pendaki gunung?
“Saya sangat berterimakasih atas kemurahan hati bapak, ibu, dan mbak Elya sekeluarga. Dan saya sungguh memohon maaf jika penolakan saya menyinggung hati bapak. Sungguh tidak ada niat dalam hati saya sedikit pun untuk menyinggung perasaan siapa pun. Tetapi saya benar-benar merasa tidak layak menerima hadiah sebanyak itu, Pak. Yang menyelamatkan nyawa mbak Elya adalah Allah, bukan saya. Saya hanya kebetulan menjadi perantara saat itu. Karena saya merasa posisi saya paling dekat untuk membantu, dan saya juga cukup mengenal daerah itu, maka kemudian saya mendaki dan menemukan mbak Elya di sana…”
Pak Iskandar menghela napas panjang, jawaban pemuda bernama Tatras yang juga ternyata biasa dipanggil Lintang itu mengiang lagi di benaknya. Sepanjang usia yang telah dihabiskan oleh pak Iskandar, belum ada satu pun orang yang menolak hadiah yang ia berikan. Bahkan lebih banyak lagi yang meminta, merengek, menjilat, memuja dan memuji supaya diberikan sedikit serpihan kemewahan yang melekat begitu banyak dalam kehidupan pak Iskandar.
Pak Iskandar adalah seorang bisnisman sukses dengan kekayaan melimpah, ia pemilik perusahaan raksasa NusaMart yang omzet setiap tahunnya ratusan miliar, ia juga ketua umum dari partai Nusantara Bersatu yang saat ini sedang memegang tampuk kekuasaan. Dengan segala kelebihan dan pengalaman yang ia miliki, pak Iskandar telah mengenal bermacam tabiat dan perilaku banyak orang. Dengan kekuasaan dan harta berlimpah yang ada dalam genggaman pak Iskandar, maka ia pun dikelilingi oleh orang-orang yang terpikat dengan dua candu dunia itu.
Orang-orang yang mencari harta dan kemewahan akan mendekati pak Iskandar, orang-orang yang memiliki nafsu dan syahwat kekuasaan juga mendekati pak Iskandar. Dan dari pengalaman yang dimiliki pak Iskandar selama ini, mereka adalah orang-orang yang sama sekali bukan tipe dapat menolak hadiah dan pemberian. Tidak memiliki peran dan prestasi signifikan saja mereka meminta imbalan, apalagi yang lebih daripada itu, tentu mereka akan meminta ganjaran berkali lipat lagi.
Namun bagaimana dengan pemuda yang barusan bertamu ke rumahnya tadi? Ia menolak cek yang disodorkan pak Iskandar meskipun dikatakan ia boleh menulis nilainya sendiri, ia menolak brosur rumah mewah yang ditawarkan pak Iskandar untuk ia pilih sendiri mana yang sesuai seleranya, bahkan saat pak Iskandar menawarinya untuk bekerja di perusahaannya di Jogja dengan gaji tinggi, pemuda itu juga menolaknya. Siapakah pemuda itu sebenarnya? Batin pak Iskandar penasaran. Sungguh bagian terdalam dari hati pak Iskandar telah tersentuh oleh sikap pemuda itu. Orang yang tidak dapat ditaklukkan dengan kekuasaan dan harta pada zaman hedonis semacam ini adalah orang istimewa, dan tentu saja mereka sangat langka.
Sebagai politikus pak Iskandar mengenal ribuan pemuda cerdas yang bergabung dalam partainya. Para pemuda itu memiliki otak yang cerdas dan pintar, lulusan perguruan tinggi dengan berbagai gelar kehormatan dan identitas akademis, pandai membangun kalimat dan beretorika, pandai berdebat dan berargumentasi. Akan tetapi tidak ada satu pun dari para pemuda yang pintar dan pandai bicara itu, memiliki keberanian untuk menolak hadiah yang ditawarkan pak Iskandar. Mereka berpidato di depan umum, mereka berorasi tebar pesona, mereka berpakaian rapi dan mentereng, mereka mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, maju sebagai calon legistatif dengan segala motivasi dan dorongan yang pak Iskandar sendiri pun tahu, kadang itu hanyalah rekayasa yang mengada-ada.
Para pemuda cerdas itu mendatangi pak Iskandar dengan mengantri, bergantian masuk ke ruangan kerja pak Iskandar yang mewah dengan mata yang haus akan kekuasaan dan kemewahan. Mereka menenteng tas yang berisi bermacam proposal dan permintaan. Mereka membawa bermacam pemikiran dan datang pada pak Iskandar untuk memperoleh dukungan dan bantuan, baik secara moril dan konektifitas, lebih-lebih berupa uang dan biaya untuk memuluskan langkah mereka.
Tapi pemuda yang baru saja diantar Elya menemuinya tadi tidak begitu. Pemuda sederhana itu menolak semua tawaran hadiah menggiurkan dari pak Iskandar. Pemuda yang hidup berteman puncak-puncak gunung, bersahabat dengan kesunyian sabana dan lembah-lembah, bercengkrama dengan badai dan tebing terjal itu ternyata sama sekali berbeda. Penolakannya yang sopan membuat pak Iskandar bertanya; Apakah seperti ini hasil didikan sejati dari alam raya? Apakah seperti ini budi dan sikap prilaku yang dituntun oleh tebing-tebing sunyi? Apakah seperti ini sifat yang diajarkan oleh sebuah pengembaraan, petualangan dan pendakian gunung?
Hati pak Iskandar tertawan oleh seorang pemuda sederhana yang bahkan katanya tidak pernah mencicipi indahnya perguruan tinggi. Pak Iskandar telah terkesan oleh seorang pemuda sederhana yang lebih memilih bekerja keras setiap harinya ketimbang menerima hadiah yang demikian banyaknya. Pemuda itu tidak merayunya dengan gaya bahasa yang indah dan istimewa, tidak berpresentasi di depannya dengan segala retorika dan kepandaian rekayasa, dan tidak pula membujuknya dengan segala uraian hebat tentang hal-hal yang luar biasa. Pemuda bernama Tatras itu hanya duduk di ruang tamu rumahnya, makan siang bersamanya, dengan ditemani oleh Elya dan Bu Khadijah. Lalu bercerita apa adanya tentang dirinya yang sederhana, dan mungkin bagi sebagian besar manusia, bukanlah siapa-siapa.
Jika memang nilai-nilai kesederhanaan dan kebersahajaan yang ditunjukkan oleh Tatras adalah sebuah hasil dari didikan serta pengembaraannya di gunung dan alam bebas, maka alangkah hebat para pendidiknya itu. Alangkah hebat lambaian angin dan bunyi desau dedaunan yang mengajarkannya kesederhanaan. Alangkah hebat pohon-pohon dan bebatuan yang mengajarkannya kekokohan. Alangkah hebat matahari yang bersinar terik di tengah hari, bersinar hangat di pagi dan membasuh lembut kulit di petang hari yang telah mengajarkan sebuah pengertian keikhlasan kepada Tatras. Alangkah hebat mereka semua, alangkah hebat hal-hal sederhana yang selama ini tak banyak mendapat perhatian manusia.
Angin kencang serta lolongan badai mengajarkan kekuatan. Tebing terjal mengajarkan perjuangan. Jalan panjang dan berliku, dipenuhi halang rintang dan onak duri mengajarkan kegigihan, keteguhan sekaligus pula kekuatan dalam bahasa yang bertahan. Jika semua unsur-unsur itu adalah guru bagi pemuda sederhana seperti Tatras, maka sungguh dalam batin pak Iskandar, Tatras tidak membutuhkan seorang profesor atau doktor untuk mengajarkannya hal yang lebih baik daripada yang ia telah dapatkan dari alam dan gunung-gunung.
Ini adalah yang pertama kalinya dalam hidup pak Iskandar ia merasa kalah dan ditaklukkan. Kalah bukan dalam sebuah pertarungan, takluk bukan dalam persaingan. Namun ia kalah dengan sebuah teladan, ia takluk bertekuk lutut oleh sebuah contoh yang diberikan oleh anak muda yang bahkan umurnya belum setengah dari usia pak Iskandar sendiri.
Apa istilah yang bisa kita sematkan untuk seseorang yang perbuatannya tak mengharapkan imbalan manusia lagi? Apa sebutan yang dapat kita berikan untuk seseorang yang rela mengorbankan nyawa dan jiwanya untuk seseorang yang tidak ia kenal? Kemudian ia menolak imbalan atas perbuatannya itu. Walau imbalan itu bisa membuat ia kaya raya di sisa usianya. Lebih konkret lagi kemudian pak Iskandar bertanya kepada dirinya sendiri; Apakah seseorang pria yang masih sangat muda dengan segala keinginan dunia yang membuncah kemudian menolak uang sepuluh miliar secara cuma-cuma bukan orang hebat? Apakah ia bukan seorang pemenang dan penakluk yang sebenarnya?
Pak Iskandar termenung panjang, ia menarik napas dalam-dalam di tengah kumandang azan magrib yang mulai memenuhi udara. Langit merah yang masih menyala ditabur oleh galur-galur awan kelam sebagai pertanda masuknya malam. Sekali lagi pak Iskandar menarik napas dalam-dalam, sebelum ia kemudian bangkit dari duduknya untuk memenuhi panggilan Bu Khadijah yang telah menunggunya untuk melaksanakan sholat magrib berjamaah…

Saya adalah seorang penulis buku, content writer, ghost writer, copywriters dan juga email marketer. Saya telah menulis 23 judul buku, fiksi dan non fiksi, dan ribuan artikel sejak pertengahan tahun 2018 hingga sekarang.
Dengan pengalaman yang saya miliki, Anda bisa mengajak saya untuk bekerjasama dan menghasilkan karya. Jangan ragu untuk menghubungi saya melalui email, form kontak atau mendapatkan update tulisan saya dengan bergabung mengikuti blog ini bersama ribuan teman yang lainnya.
Tulisan dan karya saya yang lain dapat dibaca pula pada beberapa tautan berikut;
Saya juga dapat dihubungi melalui whatsapp di tautan ini.
Fortopolio beberapa penulisan saya dapat dilihat disini: