Dalam artikel kali ini saya akan mengajak kamu untuk melihat contoh cerita pengalaman pribadi mendaki gunung yang saya alami sendiri. Kamu mungkin saja memiliki pengalaman yang sama menariknya dengan hal ini. Jadi kamu juga bisa menceritakannya dengan mengikuti contoh-contoh ini nanti.
5 Contoh Cerita Pengalaman Pribadi Mendaki Gunung Paling Berkesan

Seorang hiker biasanya tidak bisa melupakan pengalaman pertama mendaki gunung yang ia miliki. Mendaki gunung adalah salah satu aktivitas penuh petualangan dan kenangan, setiap orang yang melakukannya pasti akan mendapatkan kesan yang istimewa.
Mungkin kamu bisa menemukan banyak contoh cerpen mendaki gunung di luar sana yang bisa kamu tiru juga untuk menceritakan pengalaman kamu sendiri. Namun hakikatnya, menulis karangan tentang gunung berdasarkan pengalaman pribadi itu tidaklah sulit. Ini adalah satu gaya bercerita journaling yang umum dan bisa kamu lakukan dengan mudah.
Berikut saya mengutip 5 contoh cerita pengalaman liburan mendaki gunung yang saya lakukan sendiri. Contoh-contoh ini sendiri merupakan kutipan dari salah satu buku yang saya tulis yaitu; Mimpi di Mahameru.
1. Contoh Cerita Pengalaman Mendaki Gunung Pertama: Mimpi di Mahameru
Ini adalah salah satu pengalaman yang tidak terlupakan saya miliki. Kisah pengalaman mendaki gunung Semeru yang saya lakukan pada tahun 2010 silam memberikan banyak pelajaran yang penting.
Saya menulis rangkuman pengalaman ini dalam sebuah buku berjudul Mimpi di Mahameru. Berikut adalah salah satu bagian dari buku tersebut.
Setelah Kelik, inilah inti dari semua pendakian gunung Semeru. Tanjakan pasir yang seolah tak ada habisnya. Semua permukaan di depan mata yang menanjak tajam hanya ada pasir dan batuan semata. Di tanjakan inilah sesungguhnya semua tekad, keinginan, kekuatan, niat dan mental di uji penuh. Tidak sedikit juga para pendaki yang gagal melewati tantangan terakhir menuju Mahameru ini. Ada yang baru setengah jalan lalu menyerah, ada bahkan yang hanya sampai di Kelik lalu patah semangat untuk menjangkau Mahameru.
Sebenarnya di atas pos Kelik ini ada satu tempat juga yang lumayan familiar, yaitu Cemoro Tunggal. Namun saat ini, pohon cemara yang menjadi ikon itu sudah tumbang. Pada perjalanan turun kami masih bisa melihat pohon itu tergeletak di atas pasir Mahameru dengan daunnya yang mulai berguguran.
Di depan kami, para pendaki berbaris dan bergerak lambat, sedangkan di belakang juga demikian, pendaki juga berbaris tertatih-tatih menanjak ujian akhir mereka. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 02:00 dini hari, Mas Haris yang sangat bersemangat tak terhentikan mendahului semua pendaki di depannya, hingga berada paling depan dengan rentang jarak hampir 20 meter dari pendaki tim lain di belakangnya. Saya, Mas Sugeng dan Mas Theo masih berbarengan saling menunggu bersama tim dari Bandung itu. Pergerakan amat lambat sekali, sebentar-sebentar kami harus duduk, istirahat, minum dan jalan lagi.
Tiba di suatu ketika, semua melambat bergerak, tim dari Bandung meminta istirahat, barisan para pendaki dari depan juga masih merayap sangat perlahan. Saya meminta izin kepada Mas Theo dan Mas Sugeng untuk melanjutkan pendakian lebih dulu sembari mereka masih beristirahat.
Kemudian saya pun mulai bergerak mendaki lebih cepat, mendahului semua pendaki di depan saya, hingga akhirnya saya berada di depan, namun masih 20 meter di bawah Mas Haris yang sudah mulai terduduk kelelahan. Saya terus bergerak melangkah memaksakan diri untuk terus mendaki. Dan akibatnya buruk, saya cepat sekali kelelahan dan tersengal-sengal, dada terasa sesak dan napas memburu dengan cepat, sementara Mas Haris sudah mulai menjauh lagi.
Semua keraguan tentang kemampuan mendaki dan meraih puncak Mahameru saat di Kalimati kemarin menguap dan hilang. Saya tak tahu mengapa bisa secepat itu. Saya hanya mendaki, menjejakkan kaki di pasir basah yang dingin, lalu terus melangkah, demikian saja. Lalu, semuanya kembali, optimisme saya kembali, kesegaran saya kembali, keyakinan saya kembali, dan semangat saya juga kembali. Bahkan air mentah dari sumbermani yang langsung saya isi ke dalam streamer di backpack, seolah berubah menjadi minuman suplemen penambah energi, dingin namun sangat menyegarkan. Alih-alih sakit perut minum air mentah dan sangat dingin itu, saya justru merasa segar dan nikmat.
Malam yang cerah dengan sinar bulan yang cukup terang membuat headamp yang saya gunakan tidak banyak difungsikan.Mmalahan mendaki terasa lebih nyaman hanya dengan lentera cahaya bulan saja, tanpa ditambah dengan headlamp. Di belakang saya, barisan para pendaki hanya bisa terlihat dari headlamp yang berkedip-kedip di kepala mereka, Mas Theo dan Mas Sugeng ada di antara mereka.
Dalam etape ini juga saya memetik pelajaran besar tentang mengejar mimpi dan keinginan. Dari seorang pendaki yang terjebak dalam sakit karena kesombongan sendiri, sempat hampir putus asa, lalu bangkit meraih mimpinya dengan kemampuan yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Saya pikir Mas Haris akan menjadi orang pertama yang akan menjejakkan kakinya di puncak Mahameru pada pendakian ini, tapi ternyata tidak. Belum sampai setengah tanjakan pasir legendaris Mahameru didaki, saya sudah bisa menyamai langkahnya, melangkah seiring dengan jarak hanya sekitar dua meter. Lalu, kira-kira sudah sampai pada leher tanjakan Mahameru, Mas Haris mulai malas melangkah lagi, ia lebih sering terduduk dan enggan bergerak, puncaknya tidak sampai-sampai katanya, sementara jarak kami dengan Mas Sugeng dan Mas Theo, sudah sangat jauh.
“Saya duluan Mas, ya”
Pamit saya pada Mas Haris, yang hanya mengangguk terduduk kelelahan, malas untuk bangun melangkah lagi.
Saya terus melangkah dan mendaki lagi. Dan inilah rumus rahasia yang saya lakukan sehingga saya mampu mendahului semua pendaki di tanjakan legendaris gunung tertinggi di Jawa ini. Sambil berusaha menyusul Mas Haris tadi, saya menemukan ritme yang ampuh untuk mendaki di Mahameru ini. Dan beginilah ritmenya;
Setiap 20 langkah mendaki saya berhenti, istirahat, mengatur napas, namun tetap berdiri dan tidak boleh duduk.
Lalu melangkah mendaki 20 langkah lagi, kemudian berhenti lagi, mengatur napas dan tetap berdiri, masih tidak boleh duduk.
Kemudian melangkah mendaki kembali, kali ini 30 langkah. Kemudian berhenti, duduk, dan minum, namun tidak boleh lebih dari 5 menit.
Demikian yang saya lakukan,berulang-ulang dan terus menerus, Hingga saya bisa menyusul Mas Haris, dan sekarang mendahuluinya.
Tidak lama meninggalkan Mas Haris yang duduk beristirahat di punggung Mahameru sendirian, saya tiba di sebuah punggungan yang agak landai, di sisi sebelah kanannya terdapat batu yang lumayan besar. Selepas itu saya mendaki sedikit tanjakan lagi.
Lalu kemudian datar, tidak ada lagi tanjakan, semuanya rata, sepi dan hanya ada pasir dan batuan yang berserakan
Puncak, saya tiba di Mahameru!
Ada rasa senang, haru, dan bangga yang luar biasa masuk ke dalam relung kalbu saya. Rasa yang khas ketika seorang pendaki telah mencapai puncak gunung, apalagi puncak gunung yang telah menjadi mimpinya sejak lama.
Saya terus berjalan menuju ke tengah. Dalam keremangan cahaya bulan dan cahaya fajar yang tak lama lagi akan menyingsing, saya melihat ada semacam tonggak dengan panjang sekitar 2 meter dengan bendera merah putih di ujungnya. Saya berjalan ke arah sana. Tidak jauh dari tempat itu saya melepaskan mountain backpack, minum, duduk dan mengisi perut dengan beberapa potong biskuit dingin.
Tangan saya langsung tersengat dingin yang menusuk tulang begitu sarung tangan dibuka dan menyentuh permukaan batuan Mahameru di sekitar pukul 04:30 dini hari. Dingin sekali.
Setelah melepas lelah sebentar, saya tak dapat menahan keinginan untuk buang air kecil. Dingin sekali tanah tertinggi pulau Jawa ini. Apalagi ketika sampai puncak ini saya tak kemana-mana lagi, hanya menunggu rekan pendaki lain tiba di puncak juga, dan dalam keadaan pasif seperti ini tanpa gerakan dinginnya udara lebih terasa.
Setelah meletakkan mountain backpack di bebatuan dekat tonggak bendera merah putih tadi, saya berjalan ke arah jalan masuk puncak Mahameru sebelumnya. Dalam keremangan fajar Mas Haris masih terlihat duduk istirahat, tapi bukan di empat saya mendahuluinya tadi, ia sudah bergerak jauh, tinggal sekitar 50 meter dari batu besar sebelah kanan yang saya ceritakan di awal.
“Mas Haris, puncak!!!”
Teriak saya waktu itu.
“Sudah sampai puncak kah?”
Balas Mas Haris suprise
“Iya, ini sudah sampai!”
Seperti memperoleh tenaga baru, Mas Haris segera bangun dan setengah berlari menuju puncak. Kemudian ia pun mencapai puncak gunung pertama dalam sejarah hidupnya, puncak Mahameru, tepat sekitar 10 menit setelah saya tiba lebih dulu.
Lalu sekitar 30 menit kemudian pendaki satu persatu tiba di puncak. Setelah beberapa pendaki dari tim lain tiba, tak lama kemudian saya lihat Mas Theo dan Mas Sugeng juga sudah tiba di pintu masuk puncak Mahameru. Kemudian bersama kami menantikan matahari terbit puncak Mahameru.
2. Contoh Cerita Pengalaman Mendaki Gunung Kedua: Pelajaran dari Mahameru

Pada bagian ini, saya berusaha dengan sederhana merangkum semua hikmah yang mampu saya tangkap selama melakukan pendakian ke gunung Semeru pada saat itu.
Secara pribadi pelajaran yang dapat saya ambil dalam perjalanan mendaki gunung semeru ini banyak sekali. berjuang meraih Mahameru, berjuang melawan rasa ragu dan rasa sakit, semua menggiring saya pada sebuah kesimpulan bahwa kemenangan, kejayaan, kesuksesan hanya dimiliki oleh orang yang pantang menyerah. Bukan orang yang tidak memiliki rasa takut, namun orang yang menjadikan rasa takutnya sebagai lecutan semangat untuknya bergerak. bukan orang yang tidak ragu, tapi orang yang menjadikan keraguannya sebagai penambah keyakinannya untuk terus mencoba dan bergerak.
Kendala, aral, dan halangan adalah ujian untuk menguji kesungguhan kita, untuk melihat seberapa besar keinginan kita pada target dan tujuan. Kesulitan dan rasa sakit pada hakikatnya adalah hasil perbuatan kita sendiri. Mungkin saja rasa egois, sombong dan angkuh yang memasukkan kita dalam situasi itu.
Satu lagi, seperti apa yang saya dapatkan ketika menjadi orang paling lemah dalam hari pertama pendakian, lalu menjadi orang yang pertama kali menjejakkan kakinya di puncak Mahameru di antara hampir 30 pendaki malam itu. Adalah kegigihan, kita harus gigih kalau mau sukses dan menang.
Lihat bagaimana saya menemukan dan mengatur langkah untuk menjangkau Mahameru dengan ritme 20-20-30, pelajaran di sana adalah; lakukan saja dengan tekun dan disiplin langkah-langkah kecil secara kontinyu dan terus menerus. Lalu kita akan terkejut bagaimana kita bisa melakukan sesuatu yang luar biasa, yang sebelumnya kita anggap mustahil dan tidak mungkin.
Pada akhirnya, gambaran kehidupan ini tidak jauh berbeda dari proses mendaki gunung itu sendiri. Maka siapa pun kita, darimana pun kita berasal, apa pun usaha yang kita tekuni, selama kita memiliki sikap dan mental yang tepat layaknya seorang pendaki gunung sejati, maka tak ada yang akan membatasi kita dari kesuksesan kecuali waktu.
Insya Allah.
3. Contoh Ketiga: Pos Tujuh dan Sungai Kecil di Atas Gunung
Kali ini saya mengutip cerita dan pengalaman mendaki gunung yang saya lakukan di puncak tertinggi pulau Sulawesi yaitu Gunung Latimojong. Waktu pendakian ini sendiri adalah tahun 2011, atau 11 tahun yang lalu.
Pendakian ke gunung Latimojong ini saya lakukan bersama 7 orang teman pada saat itu, dua di antaranya adalah Mas Sugeng dan Mas Haris, sahabat yang juga ikut dalam mendaki gunung Semeru sebelumnya.
Satu hal juga yang membuat saya menyukai gunung Latimojong adalah, bahwa gunung ini kaya sekali dengan air. Berbeda jauh seperti gunung Slamet atau gunung Merapi di pulau Jawa yang air adalah hal yang hanya bisa kita dapatkan di kampung terakhir sebelum mendaki. Di atas gunung susah sekali untuk meperoleh sumber air, kecuali jika ada hujan atau pun di peroleh dengan cara survival, seperti pengumpulan embun, kondensasi dan cara cara survival lainnya.
Beda cerita di gunung Latimojong ini. Di sini air adalah sumber daya yang sangat melimpah. Sejak mulai mendaki kita akan banyak sekali menjumpai air dengan kualitas prima.
Sepanjang jalan menuju pos satu, tak kurang dari empat sumber air jernih yang mengalir dengan mudah dapat ditemukan. Di Pos Dua bahkan ada sebuah sungai bening yang berarus cukup besar. Di Pos Lima juga terdapat air, hanya saja yang ini lokasinya agak jauh turun ke arah lembah sebelah kiri jalur menuju puncak. Dari Pos Enam ke Pos Tujuh, lumut basah di sepanjang jalan adalah sumber air yang melimpah. Dan di Pos Tujuh tempat kami sekarang ini, bahkan ada semacam kali kecil yang berair sangat jernih, jernih sekali, bahkan seperti kaca saja layaknya.
Air di Pos Tujug ini juga mengalir sepanjang waktu, hingga lebih terminimalisir dari hunian bakteri dan jentik. Apalagi di musim hujan debit airnya bisa melimpah dan meluap. Dan hebatnya lagi air di pegunungan Latimojong ini temperaturnya sangat dingin, selalu minus. Terasa sekali perbedaan yang saya rasakan jika dibandingkan dengan air di gunung Semeru misalnya.
Ranu Kumbolo saat waktu subuh, Insya Allah kita berani masuk ke danau dan berwudhu, dinginnya meyegarkan. Namun, Latimojong di siang hari ini saja, hanya membasuh muka dan mencuci tangan, dingin airnya bukan kepalang, rasanya ngilu hingga ke tulang. Namun sekali lagi, ini berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, mungkin teman pendaki lain merasakan sensasi yang berbeda.
Bertolak belakang dengan airnya, suhu Latimojong menurut saya lebih hangat dibanding Semeru, Merbabu atau pun gunung Merapi di pulau Jawa. Selama pendakian di sini, kami ukur temperatur udara paling jauh melorot di minus 3 derajat celcius. Lumayan jauh berbeda dengan Mahameru, pasar Bubrah atau pun punggungan Kenteng Syarif yang temperatur dini harinya bisa melorot hingga minus 5– 10 derajat celcius pada puncak musim kemarau.
Untuk menjangkau kali kecil yang luar biasa jernih dan bening di Pos Tujuh ini, jika perjalanan menuju puncak, sumber air ini dapat di akses dengan mengikuti jalan menurun arah kiri. Sekitar 30 meter air jernih itu akan segera menyambut.
4. Contoh Cerita Pengalaman Mendaki Gunung Keempat: Sambutan Badik dan Singkong Rebus

Ini juga masih merupakan bagian dari catatan perjalanan mendaki gunung di Latimojong. Ini adalah salah satu pengalaman yang menakutkan sekaligus juga menggelikan pada saat itu.
Selanjutnya perjalanan dilanjutkan kembali dengan hiking, suasana seperti ini rentan sekali dengan emosi, amarah, saling menyalahkan satu sama lain. Namun kami sadar, bahwa dengan saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah, kami harus tetap bergerak dan bergerak terus.
Hiking tengah malam di jalan berlumpur ini menjadi semakin tegang, ketika perut kami yang lapar, memaksa kami untuk mencoba mengetuk sebuah warung desa di pinggir jalan yang berada di tengah perkebunan kopi penduduk. Bukannya memperoleh makanan pengganjal perut, kami malah ditemui oleh empat orang bapak-bapak. Merekan menatap kami dengan penuh rasa curiga, tangan mereka di belakang punggung menyembunyikan semacam badik, golok, parang, atau semacam itulah. Mengerikan sekali, dalam kondisi kelelahan dan kelaparan seperti ini kami dikira perampok. Bukan main, mimpi buruk ini kian lengkap saja.
Mas Anto segera tampil di depan, menjelaskan maksud dan tujuan kami dalam bahasa setempat, tapi tetap saja kecurigaan tak sirna dari wajah bapak-bapak itu. Lalu Mas Anto memohon pamit untuk meneruskan perjalanan, jalan kaki di malam buta di atas jalan lumpur itu kembali dilanjutkan.
Sekitar jam 03:00 dini hari kami putuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penduduk. Kami sudah sangat lelah, tak mungkin melanjutkan perjalanan malam ini lagi.
Seperti pengalaman di rumah sebelumnya, disambut badik di balik tatapan curiga, kami tak ingin hal itu terulang. Kami mengetuk beberapa kali, menjelaskan siapa kami dan maksud tujuan kami, namun tetap tak ada jawaban.
Akhirnya kami putuskan untuk istirahat di serambi rumah itu saja. Saya sendiri malah kebagian tidur di jembatan kecil penghubung antara serambi rumah dan badan jalan di sebelahnya, setengah kaki saya di halaman tanah rumah yang lembab, karena serambi rumah itu sudah tak cukup menampung kami semua.
Ada sebuah kejadian yang cukup menggelikan saat menginap di serambi rumah penduduk di pinggir jalan malam itu. Entah bagaimana ceritanya, sekitar jam empat dini hari saat kami semua terlelap, dalam tidur yang tidak begitu pulas Mas Haris merasa ada benda bergerak seolah berusaha menjepit betisnya. Ketika ia membuka mata, yang ia lihat adalah barisan gigi Mas Anto dalam yang mulut setengah menganga dan mata yang terpejam, berusaha setengah hati menggigit betisnya. Karena kelelahan dan kantuk yang teramat sangat, Mas Haris tidak membangunkan Mas Anto, ia hanya memindahkan posisi kakinya saja.
Keesokan harinya saat kami semua terbangun, masih dalam balutan rasa lelah, dingin dan rasa lapar, Mas Haris menceritakan apa yang ia alami tadi malam, sambil senyum-senyum Mas Anto pun membuka suara.
“Iya, Mi. Aku mimpi makan singkong rebus tadi malam, ku gigit-gigit tapi tidak bisa. Ternyata kak mu, Mi”
Cerita Mas Haris dan keterangan Mas Anto pagi itu membuat kami terbahak, dan sejenak melupakan kelelahan, lapar, serta jalan panjang menuju kota Barakka yang masih menanti untuk kami lewati hari ini. Dan imbuhan kata Mi memang sering digunakan masyarakat daerah ini pada percakapan sehari-hari mereka. Imbuhan sama artinya dengan imbuhan tambahan penguat maksud seperti imbuhan kan, kok,ya, dan lain lain.
5. Contoh Kelima: Tanjakan Bukit Perbatasan
Nah, pada contoh yang terakhir ini saya mengutip dari perjalanan saya seorang diri sekitar 17 tahun lalu di hutan Sumatera, ketika saya mencoba melakukan pendakian lintas yang cukup menantang. Saya lupa persisnya, tapi kejadian ini berkisar antara tahun 2014 atau 2015.
Ini adalah kisah nyata, bukan karangan tentang gunung dan cerita yang mengada-ada. Beberapa bagian dari perjalanan ini masih terekam dengan jelas di benak saya hingga sekarang.
Saya telah melakukan hiking melintasi daerah ini untuk pertama kali bersama 3 orang sahabat saya, tapi saya belum melakukannya secara solo alias sendirian, jadi mengapa saya tidak mencobanya? Tentunya solo hiker akan terasa lebih menyatu pada alam dan makna perjalanan. Jadi saya harus mencobanya dan ini akan sangat menyenangkan. Begitu pikir saya waktu itu.
Lalu berangkatlah saya melakukan solo endurance hiking trail melintasi belantara Rentes menuju Sengkuang ini sendirian. Saya mendirikan camp pertama dan menginap tepat sekitar 1 kilometer menjelang perbatasan antara perkebunan penduduk dan hutan Rentes atau, sekitar 1,5 kilometer sebelum Talang Gelopok Ali Daud. Besok paginya saya melanjutkan perjalanan tepat sekitar jam 06.00 pagi menuju Sengkuang.
Pukul 07:00 saya sudah sampai di pertigaan air terjun, dan sialnya, karena saya sudah lama tidak mengunjungi rute ini, saya menjadi ragu akan jalur yang benar. Jalur yang benar pun sudah tertutup rumput dan beluka sehingga membuat saya memutuskan untuk mengambil jalur menanjak menuju kebun penduduk yang ternyata adalah jalan buntu.
Saya keliru dan tersasar!
Hampir 30 menit saya menghabiskan waktu mengikuti jalan yang salah. Jalannya menanjak sungguh sangat menguras tenaga, sementara mie instan yang saya bawa sebagai bekal hanya tersisa 2 bungkus. Lapar membuat saya berhenti di jalan buntu di atas bukit dan menyalakan kompor memasak mie.
Begitu laparnya reda, saya segera menuruni jalur darimana saya masuk sebelumnya menuju persimpangan air terjun atau tempat dimulainya jalur yang salah ini. Perut yang sudah terisi menjadi motor yang membuat saya melangkah lebih cepat. Tidak berapa lama saya sudah tiba di persimpangan air terjun. Di sini saya sedikit bimbang, apakah akan terus melanjutkan hiking ke Sengkuang atau berbalik saja kembali ke kawasan desa Peraduan Binjai, mengingat bekal saya hanya tersisa 1 bungkus mie instan.
Nampaknya tekad saya sudah bulat untuk tetap melanjutkan perjalanan, saya pun melangkah kembali menyusuri sungai persis seperti jalur yang telah saya terangkan sebelumnya. Selanjutnya saya sudah sampai di tanjakan bukit perbatasan. Langkah mulai terseok-seok kelelahan, mie instan 1 bungkus, bukanlah jenis sarapan terbaik untuk melakukan aktifitas ini.
Menapaki jalan menanjak, saya bergerak lambat, 10 langkah berhenti kemudian 10 langkah lagi berhenti lagi karena saking lelahnya. Ingin rasanya saya sikat sekalian bekal yang tinggal satu-satunya itu, namun dikarenakan jalan masih jauh dan perjalanan masih panjang, saya tentu tidak boleh boros dengan bekal.
Setelah berjuang habis–habisan untuk tetap bisa bergerak dan melangkah, kurang lebih sekitar pukul 10:00 WIB saya sudah mencapai tepi sungai kecil sebelum memasuki kawasan Sengkuang. Lega rasanya akhirnya saya hampir sampai juga di tempat tujuan.
Sambil meletakkan carrier di tepi jalan di seberang setelah meniti jembatan kecil, tangan saya yang gemetar menahan lapar dan lelah memaksa saya segera manyalakan kompor dan memasak mie yang tinggal satu-satunya itu. Sambil menunggu air mendidih saya membasuh muka, membuka sepatu, dan mengeluarkan peralatan mandi dari dalam carrier.
Mie pun matang dan siap disantap, saya semakin gemetar manahan rasa lapar dan lelah. Sambil menuangkan bumbu dan penyedap rasa di atas mie di dalam nesting yang masih di atas kompor, saya menghirup aroma mie instannya, ah nikmat sekali pasti rasanya nanti, gumam saya.
Makan akan terasa sangat nikmat jika perut dalam keadaan lapar, apalagi benar-benar lapar seperti saya saat ini, pasti rasanya akan jauh lebih nikmat.
Namun saat saya yang gemetaran bergerak melangkah berniat mengambil sendok di dalam carrier, tak sengaja kaki saya menendang kompor portable jinjing itu
Pranggg!!!!
Kompor saya terjungkal, nesting yang masih berisi mie yang baru saja saya masak terlempar, dan semua isinya berserakan di atas tanah berdebu dan rumput yang kotor.
Saya menatap mie yang berserakan itu dengan nanar, badan dan tangan saya terasa semakin gemetar dan lemas. Rasanya ingin saya berteriak, marah bahkan menangis saat itu. Bagaimana tidak? dalam kondisi puncak rasa lapar dan lelah setelah melalui perjalanan jauh yang juga sempat tersasar, makanan yang tinggal satu-satunya sudah diolah dan sudah siap untuk disantap, tanpa sengaja tertendang berhamburan dan tak bisa dimanfaatkan lagi.
Sungguh, kejadian itu tak bisa saya lupakan. Saya pikir anda juga tak akan melupakan kejadian serupa jika terjadi pada anda. Kejadian meyedihkan yang sekaligus sangat manis.
Nah, itu adalah 5 contoh cerita pengalaman pribadi mendaki gunung yang saya sendiri pernah alami. Kamu yang suka mendaki gunung tentunya memiliki kisah yang pastinya tidak akan kalah menarik untuk kamu ceritakan.
Pengalaman seperti ini adalah sesuatu yang berharga dan selayaknya bisa kamu abadikan melalui cerita. Akan sangat menarik lagi jika kamu bisa membuatnya dalam sebuah buku.
BACA JUGA:
- CONTOH NASKAH FILM PENDEK DAN CARA MEMBUATNYA
- PLOT HOLE DALAM NOVEL DAN CARA MENGATASINYA
- CARA MEMBUAT SINOPSIS NOVEL DENGAN MUDAH

Saya adalah seorang penulis buku, content writer, ghost writer, copywriters dan juga email marketer. Saya telah menulis 19 judul buku, fiksi dan non fiksi, dan ribuan artikel sejak pertengahan tahun 2018 hingga sekarang.
Dengan pengalaman yang saya miliki, Anda bisa mengajak saya untuk bekerjasama dan menghasilkan karya. Jangan ragu untuk menghubungi saya melalui email, form kontak atau mendapatkan update tulisan saya dengan bergabung mengikuti blog ini bersama ribuan teman yang lainnya.
Tulisan saya yang lain dapat dibaca pula pada website;
- www.arcopodojournal.online
- www.penulismodern.blogspot.com
- www.arcopodojournal.wordpress.com
- www.islamedina.wordpress.com
Saya juga dapat dihubungi melalui whatsapp di tautan ini.
Fortopolio beberapa penulisan saya dapat dilihat disini: